SURAT edaran Ditjen Dikti Kemendikbud tertanggal 27 Januari 2012 telah menuai banyak kontroversi dengan berbagai alasan. Pasalnya selain skripsi, syarat kelulusan S-1 ditambah lagi dengan keharusan menulis karya ilmiah di jurnal ilmiah. Tentu perjuangan ini dirasa begitu berat, karena menulis karya ilmiah untuk dipublikasikan pada jurnal ilmiah terakreditasi tak semudah membalikkan telapak kaki.
Ada beberapa kelompok yang mengatakan bahwa hal ini merupakan usaha pemerintah untuk menekan pengagguran terdidik. Ada pula yang mengatakan bahwa ini merupakan sebuah ajang gengsi belaka walaupun tidak logis. Namun ada baiknya jika kita mengulasa berbagai sisi positif dan negatif kebijakan ini.
Dilihat dari segi positif, skripsi, TA, dan tulisan ilmiah lainnya begitu banyak. Produk-produk tersebut sebenarnya berkualitas, namun sayangnya, produk-produk tersebut pada akhirnya hanya memenuhi rak perpustakaan dan menjadi koleksi perguruan tinggi. Artinya, tidak ada langkah selanjutnya untuk menyosialisasikan produk-produk tersebut, terlebih lagi dapat dimanfaatkan oleh insan lain yang hendak mencari referensi dari penelitian yang sudah ada.
Keberadaan jurnal ilmiah tentu dapat memudahkan kita untuk mencari literatur-literatur. Terlebih lagi, jumlah mahasiswa Indonesia berjumlah sekira 4.657.483 orang. Seandainya, karya ilmiah dari semua mahasiswa Indonesia dipublikasikan di jurnal ilmiah, berapa banyak literatur yang akan kita miliki?
Namun, pertanyaannya, jurnal seperti apa? Misalnya, tiap jurnal ilmiah hanya dapat menampung 15 tulisan per tahun. Lalu yang lain dikemanakan? Apakah jurnal ilmiah yang ada mampu menampung semua karya ilmiah milik mahasiswa Indonesia yang sedemikian banyak? Pertanyaan lainnya, apakah dosen pembimbing mampu untuk membimbing/mereview sedemikian banyak jurnal dari mahasiswa? Padahal, dosen pun mempunyai kesibukan sendiri.
Pada akhirnya, kondisi ini akan melahirkan berbagai jurnal ilmiah yang asal-asalan dan kualitasnya dipertanyakan. Belum lagi ada mahasiswa "mokong", atau meminta orang lain untuk membuatkan karya tulis. Tentu hal ini malah mengakibatkan kejahatan di dunia pendidikan seperti plagiarisme.
Jurnal ilmiah nasional pun jelas kriterianya, yakni ada tim penilai untuk melihat isi dan kualitas penelitiannya. Tapi sekali lagi, jumlah mahasiswa tidak sebanding dengan jumlah jurnalnya,
Sebagai insan terdidik, penulis menilai, kewajiban menulis karya ilmiah itu perlu. Kewajiban ini akan mencerminkan hasil pembelajaran kita sesuai dengan bidang keilmuan yang kita tekuni. Tidak usah gusar, kita masih punya waktu untuk mempersiapkan diri. Mari berkarya untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Syifaul Fuada
Universitas Negeri Malang (UM)
Pengurus di Workshop Elektro(//rfa)
Ada beberapa kelompok yang mengatakan bahwa hal ini merupakan usaha pemerintah untuk menekan pengagguran terdidik. Ada pula yang mengatakan bahwa ini merupakan sebuah ajang gengsi belaka walaupun tidak logis. Namun ada baiknya jika kita mengulasa berbagai sisi positif dan negatif kebijakan ini.
Dilihat dari segi positif, skripsi, TA, dan tulisan ilmiah lainnya begitu banyak. Produk-produk tersebut sebenarnya berkualitas, namun sayangnya, produk-produk tersebut pada akhirnya hanya memenuhi rak perpustakaan dan menjadi koleksi perguruan tinggi. Artinya, tidak ada langkah selanjutnya untuk menyosialisasikan produk-produk tersebut, terlebih lagi dapat dimanfaatkan oleh insan lain yang hendak mencari referensi dari penelitian yang sudah ada.
Keberadaan jurnal ilmiah tentu dapat memudahkan kita untuk mencari literatur-literatur. Terlebih lagi, jumlah mahasiswa Indonesia berjumlah sekira 4.657.483 orang. Seandainya, karya ilmiah dari semua mahasiswa Indonesia dipublikasikan di jurnal ilmiah, berapa banyak literatur yang akan kita miliki?
Namun, pertanyaannya, jurnal seperti apa? Misalnya, tiap jurnal ilmiah hanya dapat menampung 15 tulisan per tahun. Lalu yang lain dikemanakan? Apakah jurnal ilmiah yang ada mampu menampung semua karya ilmiah milik mahasiswa Indonesia yang sedemikian banyak? Pertanyaan lainnya, apakah dosen pembimbing mampu untuk membimbing/mereview sedemikian banyak jurnal dari mahasiswa? Padahal, dosen pun mempunyai kesibukan sendiri.
Pada akhirnya, kondisi ini akan melahirkan berbagai jurnal ilmiah yang asal-asalan dan kualitasnya dipertanyakan. Belum lagi ada mahasiswa "mokong", atau meminta orang lain untuk membuatkan karya tulis. Tentu hal ini malah mengakibatkan kejahatan di dunia pendidikan seperti plagiarisme.
Jurnal ilmiah nasional pun jelas kriterianya, yakni ada tim penilai untuk melihat isi dan kualitas penelitiannya. Tapi sekali lagi, jumlah mahasiswa tidak sebanding dengan jumlah jurnalnya,
Sebagai insan terdidik, penulis menilai, kewajiban menulis karya ilmiah itu perlu. Kewajiban ini akan mencerminkan hasil pembelajaran kita sesuai dengan bidang keilmuan yang kita tekuni. Tidak usah gusar, kita masih punya waktu untuk mempersiapkan diri. Mari berkarya untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Syifaul Fuada
Universitas Negeri Malang (UM)
Pengurus di Workshop Elektro(//rfa)
(sumber : http://kampus.okezone.com/read/2012/03/08/367/589332/jurnal-seperti-apa)
0 komentar:
Posting Komentar